Hukum Menikah Saat Hamil | YDSF

Hukum Menikah Saat Hamil | YDSF

26 April 2024

Bagaimana hukum menikah untuk seseorang yang sedang dalam keadaan hamil? Kehamilan terjadi dapat dari dua kemungkinan, yaitu hamil dulu baru akan bertanggung jawab menikah atau dihamili oleh orang lain tetapi yang akan menikahinya adalah orang lain.

Pada dasarnya, pernikahan yang sah adalah proses pernikahan yang sesuai prosedur yang sudah ditetapkan baik menurut aturan agama dan negara untuk mencapai pernikahan yang sah. Akan tetapi, pada permasalahan menikah saat hamil seperti ini tentunya telah melanggar syariat Islam.

Pernikahan dalam keadaan sedang hamil sering diartikan dalam kajian Arab dengan istilah al-tazauwaju bil hamil atau dalam hukum Islam dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang sedang hamil. Hukum Islam sudah mengatur bahwa tidak sah pernikahan seseorang atau pasangan yang sedang dalam keadaan mengandung (hamil) sesuai pendapat Imam Mazhab yakni mazhab Hambaliyah dan Malikiyyah, akan tetapi pendapat tersebut jarang digunakan sebagai landasan hukum warga Indonesia karena warga Indonesia cenderung menganut ajaran Syafi’iyah.

Adapun nasab anak, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Nabi saw. bersabda, “Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mayoritas ulama mengatakan bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, maksudnya adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Bahkan jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib (anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri.

Ringkasnya, anak hasil zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya), beberapa konsekuensinya:

1)    Anak itu tidak berbapak.

2)    Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.

3)    Bila anak itu Perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena anak tersebut jatuhnya tidak memiliki wali.

Lantas, bagaimana pandangan Islam menyikapi pernikahan wanita dengan keadaan sedang mengandung tersebut?

Baca juga: Menikah Tapi Tidak Cinta Suami l YDSF

Pandangan Ulama Menikah Saat Hamil

1.      Pendapat Mahdzab Hanafiyah

Dalam mahdzab ini, beliau berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Dengan syarat, yang menikahinya adalah pria yang menghamilinya. Dalil yang digunakan adalah firman Allah Swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 22 – 24,

“Dan janganlah  kamu  menikahi  wanita  yang telah  dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan   itu   sangat   keji dan   dibenci   dan   seburuk-buruk   jalan (yang ditempuh).” [22] “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu: anak-anakmu yang wanita;  saudara-saudaramu  yang wanita,  saudara-saudara  bapakmu yang wanita; saudara-saudara ibumu yang wanita: anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang pria; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu   yang   wanita;   ibu-ibumu   yang   menyusui   kamu; saudara   wanita   sepersusuan:   ibu-ibu   isterimu   (mertua);   anak-anak isterimu  yang dalam pemeliharaanmu  dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi  jika  kamu  belum  campur  dengan  isterimu  itu  (dan  sudah  kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya: (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu): dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [23] “Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) wanita yang telah bersuami, kecuali wanita yang menjadi budak kalian.  (Ini adalah)  ketetapan   dari   Allah   atas   kalian.   Dan   dihalalkan   bagi   kalian wanita selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana.” [24]

2.      Pendapat Mahdzab Syafi’iyah

Sama seperti Mahdzab Hanafi, pada Mahdzab Syafi’i berpendapat bahwa menikah saat hamil diperbolehkan atau sah. Baik itu dengan pria yang menghamilinya ataupun bukan. Alasanya karena pernikahan wanita dalam keadaan hamil tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi.  Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) anak yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan anak tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).

3.      Pendapat Mahdzab Mailikiyah

Bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra (membersihkan najis dan kotoran). Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibranya tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra’nya cukup satu kali haid. Tapi bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibranya sampai melahirkan.

Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Meskipun yang menikahi itu pria yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya.  Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid (tidak memenuhi rukun dan syarat nikah) dan wajib difasakh (pemutusan perkawinan karena tidak memenuhi syarat akad).

4.      Pendapat Mahdzab Hambaliyah

Para ulama Hambaliyah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Baik itu dengan pria yang menghamilinya maupun tidak. Kecuali, wanita tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu telah melewati masa iddahnya (setelah melahirkan), serta harus dengan pria yang menghamilinya dan membuat perjanjian untuk tidak melakukan zina kembali.

Pendapat ini berlandaskan pada firman Allah Swt., “Dan wanita yang tidak haid lagi (menopause) di antara wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita yang tidak haid. Dan wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusanya.” (QS. At-Talaq: 4).

Baca juga: Walimatul Ursy dalam Islam l YDSF

Hukum Negara Menikah Saat Hamil

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan:

1)    Seseorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan seorang wanita yang menghamilinya.

2)    Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut dalam ayat (1) dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu dilahirkan anaknya.

3)    Dengan dilangsungkannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dengan demikian, maka dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan wanita hamil diperbolehkan asal yang mengawininya adalah pria yang menghamilinya. Hal ini tertera dalam QS. An-Nur ayat 3, “Pria yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, atau wanita yang musrik; dan wanita yang berzina tidak mengawini melainkan oleh pria yang berzina atau pria musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (berbagai sumber).

 

 

Sedekah di YDSF


 

Artikel Terkait

Pesan Rasulullah Saw. Untuk Umat Muslim Jelang Akhir Zaman | YDSF
ZAKAT DAN PAJAK | YDSF
Mendahulukan Qadha Puasa, Lalu Puasa Syawal | YDSF
KEJAR BERKAH, RUTIN SEDEKAH | YDSF
Garage Sale, SD Al-Hikmah Tanamkan Rasa Empati dan Jiwa Wirausaha Kepada Siswa
PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF

 

Serunya Milad 37 di DBL Arena Surabaya

Tags: hukum menikah saat hamil, hamil menikah, ydsf

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: