Bagaimana hukum menikah untuk seseorang yang
sedang dalam keadaan hamil? Kehamilan terjadi dapat dari dua kemungkinan, yaitu
hamil dulu baru akan bertanggung jawab menikah atau dihamili oleh orang lain tetapi
yang akan menikahinya adalah orang lain.
Pada dasarnya, pernikahan yang sah adalah
proses pernikahan yang sesuai prosedur yang sudah ditetapkan baik menurut
aturan agama dan negara untuk mencapai pernikahan yang sah. Akan tetapi, pada
permasalahan menikah saat hamil seperti ini tentunya telah melanggar syariat
Islam.
Pernikahan dalam keadaan sedang hamil sering
diartikan dalam kajian Arab dengan istilah al-tazauwaju bil hamil atau
dalam hukum Islam dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita yang sedang hamil. Hukum Islam sudah mengatur bahwa tidak sah
pernikahan seseorang atau pasangan yang sedang dalam keadaan mengandung (hamil)
sesuai pendapat Imam Mazhab yakni mazhab Hambaliyah dan Malikiyyah, akan tetapi
pendapat tersebut jarang digunakan sebagai landasan hukum warga Indonesia
karena warga Indonesia cenderung menganut ajaran Syafi’iyah.
Adapun nasab anak, ia dinasabkan kepada
ibunya, bukan pada bapaknya. Nabi saw. bersabda, “Anak dinasabkan kepada
pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan
kerugian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa anak dari
hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, maksudnya adalah anak tanpa bapak.
Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Bahkan jika wanita
yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap
dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah
seperti robib (anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri.
Ringkasnya, anak hasil zina tidak dinasabkan
kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya), beberapa
konsekuensinya:
1)
Anak itu tidak berbapak.
2)
Anak itu tidak saling mewarisi
dengan laki-laki itu.
3)
Bila anak itu Perempuan dan di
kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya
adalah wali hakim, karena anak tersebut jatuhnya tidak memiliki wali.
Lantas, bagaimana pandangan Islam menyikapi
pernikahan wanita dengan keadaan sedang mengandung tersebut?
Baca juga: Menikah Tapi Tidak Cinta Suami l YDSF
Pandangan Ulama Menikah Saat Hamil
1.
Pendapat Mahdzab Hanafiyah
Dalam mahdzab ini, beliau berpendapat bahwa
hukumnya sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Dengan syarat, yang
menikahinya adalah pria yang menghamilinya. Dalil yang digunakan adalah firman
Allah Swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 22 – 24,
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu sangat
keji dan dibenci dan
seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).” [22] “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu: anak-anakmu yang wanita;
saudara-saudaramu yang
wanita, saudara-saudara bapakmu yang wanita; saudara-saudara ibumu
yang wanita: anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang pria; anak-anak
wanita dari saudara-saudaramu yang wanita;
ibu-ibumu yang menyusui
kamu; saudara wanita sepersusuan: ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu
belum campur dengan
isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya: (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu): dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [23] “Dan (diharamkan juga atas kalian untuk
menikahi) wanita yang telah bersuami, kecuali wanita yang menjadi budak
kalian. (Ini adalah) ketetapan
dari Allah atas
kalian. Dan dihalalkan
bagi kalian wanita selain yang
telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan
tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar
kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa
apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya
Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana.” [24]
2.
Pendapat Mahdzab Syafi’iyah
Sama seperti Mahdzab Hanafi, pada Mahdzab
Syafi’i berpendapat bahwa menikah saat hamil diperbolehkan atau sah. Baik itu dengan
pria yang menghamilinya ataupun bukan. Alasanya karena pernikahan wanita dalam
keadaan hamil tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk
dinikahi. Mereka juga berpendapat karena
akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal
untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan
orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena
tidak mungkin nasab (keturunan) anak yang dikandung itu ternodai oleh sperma
suaminya. Sedangkan anak tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya
itu (anak di luar nikah).
3.
Pendapat Mahdzab Mailikiyah
Bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar
suka sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra
(membersihkan najis dan kotoran). Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibranya
tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra’nya cukup satu kali haid. Tapi
bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibranya sampai
melahirkan.
Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat
bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Meskipun yang
menikahi itu pria yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam
keadaan hamil, akad nikah itu fasid (tidak memenuhi rukun dan syarat
nikah) dan wajib difasakh (pemutusan perkawinan karena tidak memenuhi
syarat akad).
4.
Pendapat Mahdzab Hambaliyah
Para ulama Hambaliyah berpendapat bahwa tidak
sah menikahi wanita dalam keadaan hamil. Baik itu dengan pria yang
menghamilinya maupun tidak. Kecuali, wanita tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu
telah melewati masa iddahnya (setelah melahirkan), serta harus dengan pria yang
menghamilinya dan membuat perjanjian untuk tidak melakukan zina kembali.
Pendapat ini berlandaskan pada firman Allah
Swt., “Dan wanita yang tidak haid lagi (menopause) di antara wanitamu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) wanita yang tidak haid. Dan wanita yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusanya.” (QS. At-Talaq: 4).
Baca juga: Walimatul Ursy dalam Islam l YDSF
Hukum Negara Menikah Saat Hamil
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Bab
VIII pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan:
1)
Seseorang wanita hamil di luar
nikah, dapat dikawinkan dengan seorang wanita yang menghamilinya.
2)
Perkawinan dengan wanita hamil
yang tersebut dalam ayat (1) dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
dilahirkan anaknya.
3)
Dengan dilangsungkannya pada saat
wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
Dengan demikian, maka dalam Kompilasi Hukum
Islam pernikahan wanita hamil diperbolehkan asal yang mengawininya adalah pria
yang menghamilinya. Hal ini tertera dalam QS. An-Nur ayat 3, “Pria yang
berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, atau wanita yang musrik;
dan wanita yang berzina tidak mengawini melainkan oleh pria yang berzina atau
pria musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (berbagai
sumber).
Sedekah di YDSF
Artikel Terkait
Pesan Rasulullah Saw. Untuk Umat Muslim Jelang Akhir Zaman | YDSF
ZAKAT DAN PAJAK | YDSF
Mendahulukan Qadha Puasa, Lalu Puasa Syawal | YDSF
KEJAR BERKAH, RUTIN SEDEKAH | YDSF
Garage Sale, SD Al-Hikmah Tanamkan Rasa Empati dan Jiwa Wirausaha Kepada Siswa
PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF