Perjalanan Sertifikasi Halal Indonesia | YDSF

Perjalanan Sertifikasi Halal Indonesia | YDSF

24 April 2024

Sebagai negara dengan mayoritas Muslim tentu membuat Indonesia memiliki kisahnya tersendiri tentang perjalanan sertifikasi halal. Karena, ini menjadi sebuah komitmen bahwa pemerintah dengan berbagai pihak berupaya untuk menjamin produk yang beredar telah memenuhi kebutuhan masyarakat mayoritasnya. Yakni sesuai prinsip-prinsip halal yang dibutuhkan oleh umat Muslim.

Sebenarnya, adanya sertifikasi halal tidak hanya memberikan keuntungan secara moril maupun kenormaan dari sisi konsumen. Namun, label halal secara tidak langsung memberikan keuntungan ekonomis bagi produsen. Kepercayaan konsumen akan terjaminnya kehalalan sebuah produk, tentunya dapat meningkatkan marketability atau likuiditas produk di pasar.  

Sejarah Sertifikasi Halal Indonesia

Sebelum adanya sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1989, labelisasi halal terhadap produk pangan di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1976 oleh Kementerian Kesehatan.

Tepatnya pada tanggal 10 November 1976 semua makanan dan minuman yang mengandung babi maupun turunannya harus memberikan identitas bahwa makanan tersebut mengandung babi. Hal ini diatur dalam Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/Men.Kes/Per/XI/76 mengenai Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung bahan berasal dari babi.

Bagi produsen makanan yang menggunakan babi maupun turunannya harus mencantumkan tanda peringatan pada wadah atau bungkus baik dicetak maupun direkatkan pada kemasan. Tanda peringatan harus memuat dua unsur yaitu adanya gambar babi serta tulisan “Mengandung Babi”.

Pada saat itu, pemilihan label haram dinilai lebih efektif dari pada pemberian label halal karena diduga hanya sebagian kecil produk yang mengandung unsur babi. Sehingga hanya perlu memberikan label kepada sedikit produk yang jelas-jelas mengandung babi. Hal ini digunakan dalam rangka mempercepat publikasi Menteri Kesehatan yang bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) untuk membagikan label tersebut kepada perusahaan yang membutuhkan.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 12 Agustus 1985 terjadi pergantian label yang semula menempelkan label “Mengandung Babi” diganti dengan label yang bertuliskan “Halal”. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.42/Men.Kes/SKB/VII/1985 dan No. 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Label ini boleh dicantumkan setelah produsen melaporkan komposisi bahan dan cara pengolahan produk kepada Departemen Kesehatan (Depkes). Pengawasan dilakukan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Agama melalui Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes.

Baca juga: Mengapa Kosmetik Disertifikasi Halal l YDSF

Pada tahun 1988 masyarakat sempat dihebohkan dengan adanya kabar mengenai makanan mengandung babi banyak beredar dipasaran. Seorang peneliti dari Universitas Brawijaya (UB) melaporkan bahwa beberapa produk makanan dan minuman yang beredar di masyarakat terindikasi mengandung babi. Penelitian dilakukan dengan mengamati produk yang diperjualbelikan di pasar, swalayan maupun toko klontong. Ada sejumlah 34 jenis produk yang terindikasi mengandung shortening, lard, maupun gelatin. Laporan ini dimuat dalam Buletin Canopy yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan UB dan sempat membuat kepanikan di masyarakat sehingga daya beli konsumen menurun pada beberapa jenis produk yang berimbas pada omzet perusahaan.

Akibat peristiwa tersebut, pemerinta dan masyarakat barulah menyadari urgensi adanya sertifikasi halal. Dalam rangka meredam kekhawatiran masyarakat tentang beredarnya lemak babi pada tahun 1988, maka dibentuklah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Lembaga ini berdiri berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor Kep./18/MUI/I/1989 pada 6 Januari 1989 yang memiliki tugas utama untuk mengadakan pemeriksaan terhadap produk yang beredar dan melakukan sertifikasi halal. Dalam implementasinya, MUI baru bisa mengeluarkan sertifikat halal pada tahun 1994, lima tahun  setelah terbentuknya LPPOM. Sertifikat ini dikeluarkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan LPPOM.

Sinkronisasi kebijakan antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan MUI diawali dengan penandatanganan Piagam Kerjasama pada 21 Juni 1996 tentang pencatuman logo halal pada makanan. Depkes mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 924/Menkes/SK/I/1996.

Pada awalnya, label halal diberikan berdasarkan keterangan sepihak dari perusahaan terkait komposisi bahan yang digunakan. Ketika perusahaan melaporkan bahwa produknya tidak mengandung bahan non-halal maka perusahaan tersebut sudah bisa memakai label halal. Kebijakan ini dinilai tidak efektif untuk menjamin kehalalan produk.

Alur Pencantuman Label Halal

Maka dikeluarkan SK Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996, yang membuat terjadi perubahan alur pencantuman label. Sebelum perusahaan menuliskan label halal pada produknya, terlebih dahulu harus melalui persetujuan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI.

Baca juga: Halalkah Makanan yang Mengandung Rum atau Essence Rum? l YDSF

Setelah dilakukan dan dinyatakan bahwa produk terbebas dari bahan non-halal, maka akan diterbitkan sertifikat halal oleh MUI. MUI hanya memberikan saran pencantuman logo halal resmi MUI serta menuliskan nomor sertifikat halal. Sedangkan regulasi pencantuman logo halal merupakan kewenangan dari BPOM RI dengan cara melampirkan sertifikat halal pada saat pengajuan. Pada tahun 2000, Dirijen POM telah berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga labelisasi halal juga beralih ke BPOM.

Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan PP RI No. 69 trahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa pemasangan label halal pada kemasan harus melalui pemeriksaan lebih dahulu oleh lembaga pemeriksa terakreditasi berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan Menteri Agama.

Label pangan merupakan keterangan yang berisi mengenai pangan dan bisa berupa gambar, tulisan, atau kombinasi keduanya yang ditempelkan maupun dimasukkan pada kemasan. Dalam rangka menindaklanjuti ketentuan tersebut, diterbitkan Keputusan Menteri Agama menunjuk MUI sebagai lembaga sertifikasi halal yang melakukan pemeriksaan, pemrosesan, dan penetapan sertifikasi halal. Sedangkan mengenai pemasangan logo halal pada kemasan, MUI bekerjasama dengan BPOM. Kemudian pada tahun 2022 kemarin, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menetapkan  label halal baru yang berlaku secara nasional. Penetapan label halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJH Nomor 40 Tahun 2022 tentang penetapan label halal yang di sah kan di Jakarta pada 10 Februari 2022 dan mulai berlaku sejak 1 Maret 2022. 

Penetapan label halal baru ini, dilakukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Penetapan ini juga bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH. (berbagai sumber).

 

 

Wakaf di YDSF


Artikel Terkait

Pesan Rasulullah Saw. Untuk Umat Muslim Jelang Akhir Zaman | YDSF
ZAKAT DAN PAJAK | YDSF
Mendahulukan Qadha Puasa, Lalu Puasa Syawal | YDSF
KEJAR BERKAH, RUTIN SEDEKAH | YDSF
Garage Sale, SD Al-Hikmah Tanamkan Rasa Empati dan Jiwa Wirausaha Kepada Siswa
PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF

 

Serunya Milad 37 di DBL Arena Surabaya

Tags: perjalanan sertifikasi halal indonesia, halal indonesia, sertifikasi halal indonesia, halal, ydsf

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: